Jumat, 20 April 2012

Fakta Ilmiah Tentang Jenglot


Kebudayaan primitif memang menarik untuk dikaji. Di Haiti kita punya boneka voodo, dan di Indonesia, kita punya santet. Kalau dilihat-lihat, tidak masuk akal kalau keduanya berhubungan. Tapi sebenarnya, ada hubungannya. Hanya saja secara tidak sadar, ia berada jauh dalam tradisi dinamisme dan animisme kita.

Warning : Artikel ini Mengandung Deskripsi horor. Bila anda merasa tidak nyaman dengan penuturan mengenai hal-hal buruk pada dan yang dapat terjadi pada tubuh manusia, anda disarankan tidak membaca artikel ini. Kami tidak bermaksud apapun selain menjelaskan fakta ilmiah dengan dukungan bukti.
Manusia senang menganggap benda tak hidup sebagai benda hidup. Kita melihatnya dalam dongeng dari penjuru dunia, dan bahkan di film dora. Beberapa membuat patung sebagai dewa. Beberapa bertindak lebih ekstrim lagi. Menjadikan patung benar-benar seperti manusia, yaitu dengan membentuknya dari daging.
Jenglot adalah tipe patung demikian. Anda mungkin tidak percaya dengan kesimpulan kami ini, lagi pula siapa faktailmiah, apakah kami sudah meneliti jenglot langsung? Tidak. Tapi kami punya bukti tidak langsung yang memperkuat pendapat kami bahwa jenglot adalah boneka. Berikut fakta-faktanya.

Bukti Pertama : Tidak Bertulang tapi punya DNA Manusia
Katanya ada kabar kalau sudah ada tes rontgen, uji biometrik dan tes DNA pada jenglot oleh Dokter Djaja Surya Atmaja, pakar DNA forensik dari Universitas Indonesia. Oke itu bagus. Nah hasilnya? Menurut laporan di media (kami tidak menemukan laporan ilmiahnya), saat di rontgen, tubuh jenglot tidak menunjukkan adanya rangka, hanya struktur penyangga. Uji biometrik tidak menunjukkan struktur dan morfologis manusia. Tapi saat di tes DNA dari kulitnya, DNA yang ditemukan sama dengan DNA manusia.
Sekarang kita lihat argumen fakil. Bagaimana caranya membuat boneka yang tidak memiliki rangka tapi  berdaging manusia? Gampang. Syaratnya ukuran boneka itu harus kecil. Jika terlalu besar, strukturnya akan runtuh karena tidak memiliki tulang. Tapi bila kecil, ia cukup di topang dengan, yah, katakanlah lidi. Dagingnya dari mana? Oh. Sepertinya menyeramkan untuk yang satu ini. Yang jelas dia bisa. Tebak dari mana daging manusia bisa diperoleh.
Dan kasus ini sudah memang terjadi sebelumnya. Di Mesir, ada banyak sekali mummi hewan. Dari luar mummi ini terlihat seperti burung, tapi begitu ilmuan merontgennya tidak ditemukan adanya kerangka. Kesimpulan para ilmuan : Fake Mummy. Walau tes DNA menunjukkan itu benar. Kan bisa kulitnya saja dipasang di situ. Ya kan?
Fakta lain yang menunjukkan bahwa jenglot adalah boneka kecil adalah ketidakmampuannya menyerupai manusia. Lihat saja kesimpulan para pakar dari UI tersebut. Hasil uji biometrik tidak menunjukkan bahwa ia memiliki struktur tubuh manusia. Mengapa? Karena sulit sekali membentuk struktur tubuh manusia. Anda yang sudah mencoba menggambar komik pasti tahu. Dari segala jenis bentuk, yang paling sulit digambar adalah bentuk mahluk hidup, terutama manusia. Hal ini karena kita sangat akrab bahkan dengan detil-detil di tubuh manusia. Kita kan manusia. Tangan beda sedikit panjangnya, kita langsung heran, ini manusia apa bukan ya? Kesulitan ini dapat dijelaskan dengan mudah oleh teori boneka kami : pembuat jenglot tidak pandai menggambar, karena ia kehilangan satu komponen utama, komputer dan rangka (oh, itu dua). Tanpa rangka, kamu tidak dapat menjaga konsistensi bentuk dan akibatnya tidak mirip manusia. Apalagi mau memasang gigi yang bagus seperti kita. Wah, susah. Kalau rambut sih gampang. Cabut saja rambut teman. Hiiy.
Hoaaaaa
Tapi sebentar. Ada laporan dari penelitian Universiti Sains Malaysia kalau rambut jenglot terus tumbuh. Penjelasan kami, itu ilusi. Adalah miskonsepsi umum kalau kuku dan rambut akan terus tumbuh setelah orang meninggal. Kuku dan rambut tidak dapat tumbuh lagi begitu sel mati. Itu ilusi optik. Apa yang benar terjadi adalah setelah orang mati, ia kehilangan air dan kelembaban dan mengering membuat kulit mengerut di sekitar kepala dan kerangka. Saat ini terjadi, bagian rambut dan kuku yang aslinya tertanam di daging akan mencuat keluar. Para perawat mayat mencegah hal ini dengan menyirami mayat sehingga kelembaban tetap terjaga. Tidak ada data bagaimana perawatannya dan bagaimana keamanannya. Jika jenglot tersebut dipanaskan, rambutnya bakal keluar toh. Atau bisa saja ditarik rambutnya. Atau bisa saja rambutnya disambung. Kami tidak menemukan laporan ilmiahnya.

Bukti Kedua : Ada Banyak Sekali Jenis Jenglot
Ada jenglot setengah ular, ada jenglot monster, dsb. Semuanya kecil.  Tidak ada jurnal ilmiah khusus pembuat jenglot yang dapat mempertinggi keakuratan, standarisasi dan teknik-teknik pembuatan jenglot. Hasilnya mereka dapat stress membuat jenglot yang mirip manusia. Bagaimana menghindarinya, ganti saja dengan ikan jadi jenglot putri duyung. Ganti dengan ular, jadi jenglot ular. Ini seperti bermain bongkar pasang. Hanya yang dipasang cukup horror, daging. Daging ular, daging kera, daging manusia, daging ikan. Dengan sedikit pengasapan, citra “klasik” sang jenglot akan terbentuk.

Bukti Ketiga : Tidak ada Jenglot yang Bergerak
Boneka seperti itu. Dia bukan robot. Dia tidak punya rangka. Anda berharap dia bisa bergerak? Oh yang benar saja. Mana video yang menunjukkan Jenglot hidup?
Susah
Bukti Keempat :  Jenglot tidak berani dibedah
Penelitian UI dihentikan saat para ilmuan mencoba membedah jenglot. Kata pemiliknya takut terkena bencana. Oke. Ada penjelasan lain? Bagaimana kalau takut ketahuan bahwa DNA tulang berbeda dengan DNA daging? Bagaimana kalau takut ketahuan bahwa tulang yang digunakan untuk penyangga di dalam tubuh jenglot berasal dari tulang di bagian tubuh lain (tulang jari) misalnya? Bagaimana kalau takut ketahuan bahwa daging tidak melekat di tulang sebagaimana fungsi tulang sesunggunya? Bagaimana kalau takut ketahuan bahwa yang didalam tubuh jenglot sama sekali bukan tulang, kayu mungkin. Tes Rontgen dan DNA kulit tidak dapat mengungkapkan hal ini, tapi pembedahan ya.

Bukti Kelima : Jenglot ternyata berusia ribuan tahun
Tebak, seperti apa leluhur kita 3112 tahun lalu? Ya seperti orang primitif. Siapa yang senang hal-hal horor seperti membentuk daging manusia seperti boneka? Ya orang primitif.  Jenglot yang diteliti di Malaysia berusia 2000 tahun. Bagaimana?

Bukti Keenam  : Ilmuan Sendiri Bilang itu Boneka
Berikut kutipan dari Syed Abdullah, peneliti dari Malaysia yang meneliti jenglotnya:
“The hair looks like it was implanted while the body parts pasted together. The teeth are not as old as the body parts. What I can do is run a DNA test on samples of the hair and bone, and see if they match any living species in the data bank. That should take a month. I hope it will shed some light on the creature.”
Terjemahan ngasalnya : Rambutnya keliatan ditempelin aja, terus badannya juga gitu, direkat-rekat getooh. Ya, giginya juga, gak setua bagian tubuhnya. Sebenernya gue pengen buat tes DNA di rambut dan tulangnya biar tau spesiesnya apa, tapi gue males. Uda lihat gini, ya jelas-jelas ini boneka.
Hehe. Serius deh. Coba lihat boneka barby, eh jangan, boneka babi aja. Apakah tangan dan kaki serta bagian tubuh lain dapat dipisah? Ya. Apakah rambutnya ditempelin? Nggak. Tapi emang gak nyatu sih dengan kepala. Terus apakah giginya setua bagian tubuhnya? Boneka gak punya gigi. Kasi aja gigi.
Hehehe
Bagaimana tes DNA di rambut dan tulangnya? Uhh. Gak bisa ditemukan. Kalau seperti ini sih berarti emang bener, kan media suka sensasi tuh. Jadi kalau ternyata jenglot hanya boneka yang ditempel-tempelin daging di sana sini, ngapain juga diheboh-hebohkan.

Bukti Ketujuh : Bukti dari Antropologi
Nah. Ini bukti pamungkas kami. Soalnya di awal sudah dibilang tentang kecenderungan animisme dan dinamisme manusia. Sekarang kita dapat cerita jenglot di Indonesia lalu ada di Malaysia, sebelah utara Indonesia. Anda mau ke utara lagi, perkenalkan Thailand.
Di Thailand, ada yang namanya Guman Thong. Guman Thong adalah boneka anak kecil yang disembah.  Sejarahnya cukup seram. Ada seorang bernama Khun Paen, yang hidup tahun 1491-1529. Ia dipandang sebagai orang pertama yang membuat Guman Thong. Caranya. Yang ini horor. Anda diperingatkan untuk tidak membaca kisah selanjutnya jika anda takut dihantui mimpi buruk.
Cerita berikut disarikan dari situs ParaSearcher.blogspot.com :
Sudah diperingatkan sih jadi bukan salah saya. Gini ceritanya, Khun Paen menggendong menggali kuburan istrinya yang meninggal saat hamil. Ia membelah perut mayat istrinya lalu mengambil mayat bayinya. Khun Paen lalu membawa mayat bayi tersebut ke kuil. Kuil adalah tempat suci dimana setan gak bisa masuk. Khun Paen membaca mantra di kuil sambil… uh, memanggang bayinya. Sekali lagi memanggang. Beda dengan membakar, yang pada dasarnya tidak menyisakan bagian tubuh, kecuali abu.
Proses ini dilakukan karena Khun Paen sepertinya percaya bahwa walaupun jasadnya mati, sang bayi masih memiliki roh. Roh ini masih harus dirawat layaknya bayi yang masih hidup. Caranya dengan melestarikan mayat sang bayi prematur tersebut. Tapi bagaimana bisa kan namanya mayat pasti lama-lama busuk. Orang Mesir membuat mummi, tapi proses mumifikasi lebih mengerikan lagi karena harus membedah sang mayat. Organ-organ dikeluarkan agar tidak merusak daging. Organ tidak dapat dimumikan. Cara lain, dengan dipanggang.
Kemudian banyak orang  di Thailand tidak lagi mempraktekkan ritual pembuatan Guman Thong, karena sudah dinilai terlalu barbar. Sebagai gantinya, mereka mengganti bayi nyata dengan boneka. Boneka kayu, perunggu, gading, plaster dan aneka macam bahan. Jadi suami yang ditinggal mati istrinya bersama bayinya dapat memiliki Guman Thong di rumahnya tanpa harus menodai makam istrinya. Tambahan lagi, karena di dalam Guman Thong dipercaya ada roh sang bayi. Roh ini dapat dipanggil dengan mantra sebagai pelindung dari kejahatan. Agar roh sang bayi mau datang, ia harus diberikan sesajen. Sesajen ini berbentu mainan, susu, permen dan makanan lainnya. Sekarang fungsi Guman Thong bahkan telah berubah menjadi semacam patung dewa bayi atau anak kecil yang disimpan di rumah untuk hoki.
Parasearcher juga menuturkan mengenai penyembahan tulang oleh kelompok rahasia. Mereka katanya mampu memanggil roh dengan bantuan sepotong tulang manusia. Tulang ini harus diambil dari kuburan. Setelah ritual pemanggilan selesai, tulang ini harus disimpan di altar selama 49 hari sambil diberi makan beberapa tetes darah dari jari manis tangan kanan pendeta. Jadwal makan darah tulang ini adalah seminggu sekali. Jadi 7 kali totalnya.
Ingat tentang Jenglot. Katanya jenglot minum darah loh. Tapi, menurut Parasearcher,  jenglot benar memang manusia. Ia adalah dukun yang tidak ingin dikuburkan saat mati. Ketika wafat tubuhnya dijadikan mumi bonsai dengan pengeringan berkepanjangan, sehingga mengecil hingga berukuran 20 cm hingga 12 cm.
Memang sih. Di Toraja dan di Papua anda bisa menemukan mumi yang dikerutkan. Sebagai contoh, mumi Dende berukuran hanya 90 cm. Pertanyaannya apa mungkin mayat bisa dikerutkan hingga 12 cm saja? Kemana kerangkanya? Apa mungkin mayat ini harus dijaga kelestarian bentuknya dengan memberi minum darah?
Mummi Dende dari Toraja (Kredit : Toraja.net)
Bukti Kedelapan : Proses Mumifikasi
Manusia terdiri dari sekitar 80 persen air (bukan iklan). Saat hidup, air ini terus bersirkulasi di tubuh dan diganti terus menerus. Saat mati, air yang ada akan mengering dan membuat mayat terlihat mengerut. Namun, tulang manusia tidak dapat mengerut saat ia mati. Lihat saja kerangka fosil. Jadi tentunya untuk dapat menyusut, ada cara tertentu yang bisa digunakan.
Mengesankannya (atau mengerikan) ada yang namanya kepala kecil. Ini adalah praktek yang dilakukan suku-suku Indian di Ekuador dan Peru masa lalu, zaman perang suku. Kepala musuh mereka dipandang sebagai koleksi yang hebat. Tapi kepala normal terlalu besar. Mereka secara kreatif menemukan cara mengerutkan kepala.
Prosesnya dimulai dengan membuang tengkorak dari kepala. Tapi bagaimana? Bagian belakang leher di potong dan seluruh kulit dan daging dibuang dari tengkorak. Biji merah diletakkan dibawah pelupuk mata dan pelupuk dijahit. Mulut juga ditutup dengan tiga duri kelapa. Lemak dari daging kepala dibuang. Lalu bola kayu digunakan untuk menahan bentuk kepala. Kepala ini lalu direbus dalam air yang telah diramu dengan sejumlah tanaman yang mengandung tannin. Kemudian ia dikeringkan dengan batu dan pasir panas sambil menjaganya agar tetap dalam bentuk manusia. Kulitnya lalu digosok dengan abu arang. Jadilah kepala mini.
Sekarang mungkinkah mengecilkan mayat. Proses mengecilkan mayat mungkin saja, tapi akan sangat rumit. Seluruh tulangnya harus dibuang dan daging dibuang dengan hati-hati. Pokoknya seluruh proses di atas diulang dalam skala yang lebih besar dan lebih teliti. Hasilnya sebuah mayat orang dewasa yang dikecilkan akan seukuran sekitar 26 inci. Cukup besar? Ya. Itu masih setengah meter, jauh dari 12 cm yang umum ditemukan pada jenglot.
Bagaimana bila orangnya kerdil. Mungkinkah bisa lebih kecil lagi? Atau anak kecil bagaimana? Bayi hasil aborsi? Aha. Itu tepat sesuai cerita Gumam Thong. Nah, masalahnya, kamu bekerja dengan benda yang sangat kecil. Beda dengan benda besar. Yang besar saja sudah sulit, apalagi yang kecil. Kerumitannya berkali lipat.

Bukti Kesembilan : Tidak Ada Bentuk Transisi
Bentuk transisinya harus ada. Di Mesir, selain manusia, hewan-hewan suci juga di mumikan. Di Peru, kita temukan kepala yang dikecilkan dan tubuh yang dikecilkan hanya ditemukan satu kasus. Ada transisi tingkat kerumitan. Jika memang jenglot adalah mumi bayi, anak kecil atau orang kerdil yang dikecilkan, maka mana transisinya. Usaha coba-coba sebelum tingkat yang sangat sulit ini. Yang gampang-gampang seperti manusia dewasa dulu. Mana? Harusnya banyak. Orang memulai dari yang mudah dulu baru yang serumit itu, tapi kita tidak punya bukti arkeologis dan antropologis bahwa orang Indonesia dan Malaysia melakukan praktek mumi. Tunggu bagaimana Toraja dan Papua?
Sayangnya, mummi yang dibuat di Toraja dan Papua terlalu sederhana. Tidak ada proses pengerutan. Mumi orang dewasa terlihat sebagai orang dewasa, ukurannya kurang lebih sama. Ia terlihat menyusut karena dehidrasi.  Perlakuan kimia terhadap mummy hanya bertujuan untuk mengawetkan jasad, bukan mengerutkan. Jadi, mumi Toraja dan Papua terlalu sederhana. Lompatan dari terlalu sederhana ke terlalu rumit sepertinya mengada-ada. Betul gak? Yang paling masuk akal, adalah ia sekedar boneka.
Kesimpulan
Sejauh ini, kami rasa pendapat Parasearcher mengenai jenglot tidak benar, tetapi ceritanya mengenai Guman Thong memang ada hubungannya dengan jenglot. Lebih tepatnya jenglot berfungsi seperti Guman Thong. Ia boneka yang dibuat dari daging yang dipanggang untuk tujuan ritual, ribuan tahun lalu. Jenglot digunakan untuk hoki, sama dengan Guman Thong. Jenglot diberi minum darah, sama dengan Guman Thong. Di masa mesolitikum atau neolitikum, mungkin leluhur kita di Jawa menggunakan cara yang sama dengan Khun Phaen untuk mengawali tradisi Jenglot.
Pelajaran yang bisa ditarik dari Jenglot sebenarnya ada pada khazanah antropologi kita. Kehidupan masa lalu pra sejarah orang Indonesia, beberapa ribu tahun lalu. Itu mengapa ilmuan dari UI ingin menelitinya. Mereka ingin mengetahui profil budaya, bukan mengetahui bahwa ada monster kecil peminum darah yang berjalan-jalan kesana-sini. Itu hanya mitos. Tapi mengetahui kalau leluhur kita mempraktekkan mumifikasi ekstrim hingga mengerutkan manusia sebesar iphone, itu yang keren. Tak ternilai lah.
Nih
Sayangnya, sejauh pengetahuan yang kami dapatkan dari para pakar mengenai bagaimana proses pengerutan dan mumifikasi, maka kami berpegang pada bukti-bukti yang ada, yang mengarah pada satu pilihan: jenglot tidak ada yang asli. Jenglot itu boneka yang digunakan untuk tujuan ritual, dibuat dari tempelan jaringan otot, sedikit tulang dan rambut serta kuku juga gigi, ah pokoknya dibuat biar mirip manusia mini lah. Singkatnya, jenglot itu fosil boneka.
Rame rame

Tidak ada komentar:

Posting Komentar