Jumat, 09 Maret 2012

Perancis Selatan, Sarang Kaballah - induk dari segala induk ilmu sihir

Kabbalah atau Qibil dalam bahasa Ibrani awalnya adalah istilah yang netral, yang secara harfiah memiliki arti sebagai ‘lisan’. Namun belakangan, ketika kaum Yahudi menggunakan istilah ini untuk menyembunyikan dan memelihara kepercayaan mistis-esoteris kelompok mereka, maka istilah ini menjadi sangat politis. Encarta Encyclopedia (2005) menuliskan bahwa istilah Kabbalah berasal dari bahasa Ibrani yang memiliki pengertian luas sebagai ilmu kebatinan Yahudi atau Judaism dalam bentuk dan rupa yang amat beragam dan hanya dimengerti oleh sedikit orang.


Kabbalah ini mempelajari arti tersembunyi dari Taurat dan naskah-naskah kuno Judaisme. Walau demikian, diyakini bahwa Kabbalah sesungguhnya memiliki akar yang lebih panjang dan merujuk pada ilmu-ilmu sihir kuno di zaman Fir’aun yang biasa dikerjakan dan menjadi alat kekuasaan para pendeta tinggi di sekitar Fir’aun. Kabbalah ini sarat dengan berbagai filsafat esoteris dan ritual penyembahan serta pemujaan berhala, bahkan penyembahan iblis, yang telah ada jauh sebelum Taurat-Musa dan telah menyebar luas bersama Judaisme, yang seluruhnya berurat-berakar pada praktek-praktek kebatinan serta penyembahan dewa-dewi di zaman Mesir Kuno.

Hal tersebut diutarakan pakar sejarah Yahudi Fabre d’Olivet. “Kabbalah merupakan suatu tradisi yang dipelajari oleh sebagian pemimpin Bani Israil di Mesir Kuno, dan diteruskan sebagai tradisi dari mulut ke mulut, dari generasi ke generasi, ” jelas d’Olivet. Banyak kalangan percaya, Kabbalah adalah induk dari segala induk ilmu sihir yang ada di dunia hingga hari ini. Dianutnya Kabbalah oleh orang-orang Yahudi mengundang tanda tanya besar pada diri seorang Harun Yahya. “Ini sungguh aneh. Jika kita memandang Yahudi sebagai sebuah agama monoteistik, yang diawali dengan turunnya Taurat kepada Nabi Musa a. S. Tapi kenyataannya, di dalam agama ini ada sebentuk sistem yang disebut Kabbalah, yang mengadopsi praktik-praktik dasar sihir yang sebenarnya bertentangan dengan Taurat. Hal ini memperkuat apa yang telah disebutkan sebelumnya, dan menunjukkan bahwa Kabbalah sebenarnya merupakan elemen jahat dari luar yang menyusup ke dalam Yudaisme. ”

Menurut akar Kabbalah bukanlah hal yang mudah dilakukan. Para sejarawan Barat menyepakati bahwa Kabbalah merupakan kepercayaan inti dari kelompok mistis tertua dunia yang dikenal dengan sebutan Broterhood of the Snake (Kelompok Persaudaraan Ular). Rezim Raja Namrudz di Babilonia dan Firaun di Mesir merupakan tonggak-tonggak awal yang amat penting bagi perjalanan kepercayaan ini. Di masa-masa pra dan awal Perang Salib, sekitar abad ke-11 Masehi, Kabbalah mulai menampakkan diri di daerah Perancis Selatan. Peneliti Kabalah Barat, Olivia Prince dan Lynn Picknet, yang kemudian menulis The Templar Revelation, menyatakan bahwa pembawa ajaran ini salah satunya adalah kedatangan sepasukan ksatria Yohanit dari Calabria, Belgia, ke sebuah wilayah yang dikuasai Mathilda de Tuscany dan Godfroi de Boullion.

Ksatria-ksatria Yohanit ini tidak lama tinggal di Perancis. Mereka pergi dan meninggalkan Peter si Pertapa (Peter The Hermit) yang kemudian menjadi “murabbi” bagi Godfroi de Bouillon. Peter ini kemudian menyusup ke Vatikan dan menjadi provokator bagi Paus Urbanus II yang kemudian mengobarkan perang salib guna merebut Yerusalem dari kekuasaan umat Islam. Dalam serangan Tentara Salib pertama di tahun 1099, baik Peter maupun Godfroi menjadi panglima bagi pasukannya masing-masing. Di hari kejatuhan Yerusalem, Godfroi mendirikan Ordo Biarawan Sion dan 20 tahun kemudian membentuk ordo militer Knights Templar, yang kemudian pada 1307 di Skotlandia mengganti namanya menjadi Freemasonry.

Terusir Dari Yerusalem

Tahun 1188 Salahuddin Al-Ayyubi berhasil membebaskan Yerusalem dan mengusir pasukan Salib dari seluruh wilayah Palestina. Semua tentara Salib kembali ke Eropa. Walau tidak ada catatan tertulis, sebagian besar Ksatria Templar dan Ordo Sion diyakini sejumlah peneliti-antara lain Picknett dan Prince memilih Perancis Selatan sebagai rumah baru mereka. Seperti yang telah disinggung di atas, di wilayah ini telah berdiri banyak gereja yang didedikasikan kepada Santo Yohanes dan Maria Magdalena. Gereja-gereja ini tidak menginduk kepada Vatikan, tetapi memiliki kultur dan keyakinannya sendiri yang secara mendasar bertentangan dengan Tahta Suci Vatikan. Mereka juga dikenal sebagai Kaum Yohanit.

Salah satu keyakinan kaum Yohanit adalah gereja warisan Yesus itu sendiri. Vatikan meyakini bahwa Yesus mewariskan gerejanya kepada Santo Petrus yang kemudian menjadikan Tahta Suci Vatikan—sebuah pusat kerajaan Roma Paganistis—sebagai pusat religi bagi umat Kristen dunia. Namun klaim Vatikan ini ditolak oleh kaum Yohanit yang meyakini Yesus tidak mewariskan gerejanya kepada Santo Petrus, melainkan kepada Maria Magdalena, seorang perempuan yang setia mengikuti Yesus hingga diperisterinya dalam satu pesta perkawinan di Qana, sebuah wilayah yang kini masuk dalam wilayah Lebanon.

Kaum Yohanit juga tidak menganggap Yesus sebagai Tuhan, melainkan Rasul biasa yang hanya meneruskan ajaran Tuhan yang tidak tampak. Dan di akhir zaman, Sang Messiah (The Christ) yang akan turun ke bumi bukanlah Yesus, melainkan Yohannes The Christ. Ini menurut keyakinan kaum Yohanit asli. Hanya saja, kaum yang semula Unitarian ini menjadi tercampur-aduk dengan ajaran paganis-mistis Kabbalah. Sesungguhnya ini suatu perpaduan yang aneh. Namun benar-benar terjadi. Harun Yahya dan pengkaji masalah Kabbalah meyakini, awal pembelokkan ajaran Unitarian menjadi Kabbalis terjadi ketika Samiri—salah seorang tokoh Broterhood of the Snake—menipu Bani Israil ketika mereka ditinggalkan Musa saat Musa pergi ke Bukit Thursina. Samiri membuat sebuah patung sapi betina yang dibuat sedemikian rupa sehingga bisa mengeluarkan suara ketika angin bertiup mengenainya. Patung sapi itu pun disembah Bani Israil dan mengacuhkan Nabi Musa a. S.

Bermillenium tahun berjalan, ajaran Kabbalah berkembang dan merasuk ke dalam Yudaisme dan juga Taurat. Para pendeta Kabbalis bahkan membuat ayat-ayat palsu yang membuat Talmud—sebuah kitab yang awalnya sebagai penafsir Taurat dianggap lebih suci ketimbang Taurat. Dan sebagian besar kaum Yahudi pun menjadi kaum yang mendewakan Talmud. Mereka menjadi kaum yang begitu gandrung dengan Kabbalah dan merasa menjadi bangsa terpilih dengan adanya Kabbalah yang diwariskan secara turun-temurun dengan lisan. Dan ketika mereka berkumpul di Perancis Selatan di abad ke-12 inilah, ajaran Kabbalah dibukukan. Ini terjadi di Aix en Provence.

Rennes Le Chateau

Salah satu desa terpenting di Perancis Selatan yang memiliki banyak petilasan Kabbalah bernama Rennes le Chateau. Nama Pastor Berenger Sauniere tidak bisa dipisahkan dari nama Rennes le Chateau ini.

Tidak terlalu sulit jika suatu waktu Anda ingin berkunjung ke desa ini. Sejak histeria novel The Da Vinci Code, di Paris dan juga di beberapa negara Eropa dan juga Amerika, sejumlah biro perjalanan wisata telah memasukkan nama desa ini menjadi satu tujuan wisata unggulan. Tak heran jika desa ini yang sebelumnya sepi, kini menjadi sebuah desa yang begitu ramai dipenuhi turis. Jika Anda ingin bepergian sendiri, maka terbanglah ke Bandara Charles de Gaulle di Paris. Dari The City of The Light Paris, tataplah matahari yang bersinar pada siang hari bolong. Ambillah jalan lurus ke selatan, menyusuri garis bujur, melewati Burgundy, Saint Philibert de Tournus, Sungai Rheine, Vienne dan katedralnya di mana pada tahun 1312 di tempat itu berawal gerakan penumpasan terhadap Ksatria Templar, lewat Carcassonne, terus berjalan ke selatan hingga Limoux dan Lembah Aude.

Di lembah ini Anda akan menjumpai Kastil Kathari yang terkenal dalam peristiwa Perang Salib Albigensian (Pembantaian yang dilakukan pasukan Paus terhadap orang-orang Kristen Kathar di Albi), lalu menyusuri jalan yang diapit pegunungan Pyrennes, dan tibalah di sebuah dataran tinggi, maka sampailah Anda di Rennes Le Château. Perjalanan dari Paris ke desa ini bagaikan sebuah perjalanan sejarah, napak tilas dari sejarah Eropa di abad pertengahan. Semua kisah dan misteri berawal dari desa ini, namun entah mengapa, Dan Brown sama sekali tidak menyinggung nama desa ini secuil pun dalam novel The Da Vinci Code.(Rizki Ridyasmara)
Di Rennes-le-Château yang berada di wilayah Languedoc, sejak lama berdiri sebuah gereja kecil yang dipersembahkan kepada Maria Magdalena. Konon, gereja ini sudah ada sejak zaman Visigoth di abad ke-6 Masehi. Beberapa mil di tenggara Rennes-le-Château, berdiri sebuah puncak gunung yang dikenal sebagai Bézu. Di puncaknya, berserakan puing-puing benteng abad pertengahan. Di lokasi tersebut pernah berdiri salah satu kuil Ksatria Templar yang menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Phillipe le Bel dan Paus Clement V.


Satu mil ke timur laut, pada puncak lainnya berdiri sisa-sisa puri Blanchefort, sebuah rumah leluhur Bertrand de Blanchefort, Grand Master ke-4 Ksatria Templar. Sejak dahulu, daerah itu sudah menjadi rute perjalanan para peziarah yang terbentang dari Eropa Timur hingga Santiago de Compastela di Spanyol. Sebuah wilayah yang dipenuhi aroma mistis, legenda, mitos, dan juga bau darah. Para peziarah Eropa Utara dan Timur sejak dulu selalu melalui wilayah ini sebelum mereka berlayar menuju Jaffa, kota pelabuhan di tanah Palestina, setelah melintasi Laut Tengah melewati perairan utara Tunisia, Pulau Sardinia dan Sisilia di selatan Itali, dan Malta, menuju Kota Suci Yerusalem. Kisah tentang desa kecil nan misterius ini berawal dari kedatangan Pastur Francois Bérenger Sauniére (1852-1917). Sauniere (33) berasal dari Desa Montazels, dekat Rennes le Château.

Pastor Sauniere

Di tahun 1850, ayah Sauniere bekerja sebagai pengurus Marques de Castel Majou, sebuah kastil besar di ujung desa. Ibunya berasal dari keluarga terpandang. Dua bersaudara Afred dan Berenger, yang pintar dan ambisius, disekolahkan ke Seminari Carcassonne agar kelak menjadi pastur dan meneruskan tradisi kehormatan bagi keluarganya. Setelah lulus, Berenger jadi pastur di Desa Le Clat, yang berada agak jauh dari Montazels, namun masih berada di sekitar Rennes le Château. Tanah Desa Le Clat dimiliki oleh keluarga Hautpoul-Fellines. Setelah tiga tahun mengabdi di Le Clat, Berenger dipindahkan oleh atasannya, Uskup Carcassonne, ke Rennes le Château.

Awal Juni 1885, Pastur Bérenger Sauniére datang di Rennes le Château dan tinggal di rumah keluarga Denarnaud. Sang puteri, Marie Denarnaud dipekerjakan menjadi Sang Pastur. Kehidupan pastur itu amat sederhana. Pendapatannya hanya enam poundsterling tiap tahun ditambah dengan kolekte sukarela dari jemaat gerejanya. Pastur Berenger Sauniére bersahabat dengan Pastur Henri Boudet dari desa tetangga, Rennes-le-Bains. Beberapa bulan kemudian Sauniére mendapat masalah besar ketika dalam salah satu misa yang dipimpinnya, Pastur muda itu mengkhotbahkan suatu ajaran yang sangat anti-Republikan, padahal pada waktu itu pemilihan umum tengah berlangsung.

Untuk sementara waktu Sauniére dibebastugaskan dari jabatannya. Ketika akhirnya dia dikembalikan kepada posisinya pada musim panas 1886, dia menerima hadiah sebesar 3. 000 franc dari Countess de Chambord, janda seseorang yang mengklaim sebagai raja Perancis, King Henry de Bourbon yang mengaku bergelar Henry V, yang merasa berhutang budi karena Sauniére membela kaum monarkis. Pastur itu kemudian menggunakan uang tersebut untuk merenovasi gereja kecilnya yang sudah rusak di sana-sini. Pada saat inilah pastur itu menemukan sejumlah perkamen yang memuat kode rahasia.

Di bagian atas sebuah pilar dekat mimbar, ia menemukan sebuah laci rahasia yang menyimpan sebuah dokumen. Dokumen itu menuntunnya menemukan sebuah pot besar yang sarat dengan koin emas. Konon, koin emas itu sangat cukup untuk membangun seluruh desa menjadi makmur. Setelah itu, Sauniére kembali menemukan empat lembar perkamen dari sebuah pilar bergaya Visigoth di dekat altar yang rencananya hendak dipindahkan. Perkamen-perkamen tersebut amat sulit dibaca karena susunan huruf-hurufnya tidak beraturan dan sekilas tidak ada arti. Tapi pendeta muda tersebut seorang yang cukup kritis. Ia meyakini, apa pun itu, temuannya itu pasti barang yang sangat berharga, sehingga membuat orang-orang menyimpannya rapat di sebuah tempat yang dirahasiakan.

Sejak awal, Sauniére curiga, naskah yang berisi tulisan yang kacau itu sebenarnya merupakan sebuah sandi atau kode, yang harus dipecahkan dengan mempergunakan kunci atau teknik tertentu, sebelum arti sesungguhnya diketahui. Jelas, batin Sauniére, ada sesuatu yang sangat berharga di balik kode-kode yang begitu rumit ini. Sauniére tidak mampu memahami apa yang sesungguhnya dimaksud oleh naskah-naskah itu. Akhirnya pastur itu mengunjungi beberapa kenalannya, salah satunya Uskup Carcassonne, Felix-Arsène Billard, untuk dimintai pendapatnya. Oleh Billard, Sauniére dinasehati agar menemui seorang ahli pemecah kode bernama Émile Hoffet, yang ketika itu merupakan seorang pemuda yang tengah belajar untuk jadi imam, namun memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai okultisme dan dunia kelompok-kelompok rahasia.

Sekembalinya dari perjalanan mengunjungi beberapa kenalannya, kehidupan Sauniére yang semula pas-pasan berubah total. Dalam waktu yang tidak lama pendeta itu diketahui sering bertindak aneh. Terkadang menyusuri jalanan desa bersama pembantunya, terkadang mengurung diri di rumahnya, atau berjalan ke sana-kemari tiada arah tujuan. Selain merenovasi gereja, dia juga mampu membangun menara Magdala (Magdalena) yang mewah dan bahkan sebuah bangunan vila yang dinamakannya Vila Bethania lengkap dengan taman yang indah serta rumah kaca.

Entah terinspirasi oleh apa, gereja yang direnovasinya ternyata diubah dengan gaya bangunan dan arsitektur yang amat tidak lazim dan bahkan kelihatannya mengerikan. Sebuah patung menyeramkan, Raja Iblis Asmodeus—Iblis penjaga harta karun rahasia Kuil Sulaiman dalam kepercayaan Kabbalah—didirikan di jalan masuk ke dalam gereja. Di bagian pintu masuk gereja ditulis sebuah kalimat: TERRIBILIS EST LOCUS ISTE (TEMPAT INI MENGERIKAN). Adakah penempatan patung Asmodeus ini oleh Sauniére dimaksudkan bahwa di dalam gereja tersebut terdapat sesuatu rahasia yang sungguh-sungguh penting dan berharga? Selain itu, Sauniére juga sering mengadakan perjamuan mewah kepada penduduk desa. Seluruh warga desa tersebut, besar kecil, seluruhnya sering dijamu oleh sang pendeta dalam acara jamuan yang mewah.

Bahkan sejumlah tamu penting dari berbagai desa dan negeri juga sering berdatangan mengunjungi pendeta itu. Sauniére telah hidup dalam gaya para raja. Pernah dalam beberapa malam, penduduk memergoki pastur muda itu bersama pelayannya tengah membongkar makam Marquise d’Hautpoul de Blanchefort. Dan ketika ditanya, maka jawaban yang diperoleh pun terkesan menutupi sesuatu. Anehnya, terhadap perubahan yang sangat menyolok tersebut, Vatikan tidak mau ambil pusing. Entah mengapa Gereja seolah menutup mata bahkan terkesan enggan untuk sekadar bertanya tentang penyebab perubahan itu. Takutkah Gereja pada Sauniére? Gerangan apa yang diketemukan Sauniére di dalam rongga salah satu pilar Gereja Magdalena? Yang jelas, sesuatu itu telah menjadikannya kaya raya dan berkuasa. Pertanyaan-pertanyaan ini terus terkunci dan menjadi salah satu rahasia sejarah Gereja Vatikan yang paling gelap hingga kini.

Ketika Sauniére terus hidup dalam segala kekayaan dan pengaruhnya, tiba-tiba Uskup Carcassonne meninggal dunia. Seorang uskup ditunjuk Vatikan menggantikan yang lama. Uskup baru ini merasa ada sesuatu yang janggal dengan kehidupan Sauniére. Dari mana pendeta bawahannya itu bisa bergaya hidup mewah dan mendapatkan harta kekayaan serta uang yang berlimpah, padahal wilayah gembalaannya hanya di sebuah kampung kecil bernama Rennes-le-Château?

Uskup baru itu rupanya tidak mendapat pengarahan terlebih dahulu dari Gereja, sehingga ia dengan sangat biasa dan tanpa perasaan apa pun menulis surat kepada Sauniére agar bisa secepatnya menghadap dirinya untuk menjelaskan segala asal-muasal harta kekayaan yang diperolehnya. Tindakan Uskup Carcassonne yang baru itu amat menyinggung perasaan Sauniére. Dengan berani, Sauniére menentangnya. Uskup Carcassonne terkejut dengan keberanian Sauniere. Sang uskup pun tidak mau kehilangan kewibawaannya. Ia dengan kasar menuduh Sauniére telah melakukan jual-beli hal-hal yang bersifat rohani. Uskup pun mengadukannya ke pengadilan daerah untuk mengusut bawahannya itu. Atas desakan uskup, pengadilan daerah kemudian mengambil keputusan untuk menahan Sauniére.

Dengan menahan amarah, Sauniére mengadukan kejadian ini ke Vatikan. Setelah menerima surat pengaduan Sauniére, dengan cepat Vatikan segera membuat surat perintah yang ditujukan pada Uskup Carcassonne yang baru dan juga pengadilan daerah. Perintahnya satu: Bebaskan Sauniére secepatnya dan bebaskan dia dari segala tuduhan serta pulihkan nama baiknya. Dengan masih dilanda rasa heran, Uskup Carcassonne kemudian segera membebaskan Sauniére dan tidak pernah lagi mengusiknya. Sejak itu Sauniére bisa hidup tenang dan meneruskan gaya hidup para rajanya yang mewah. Entah mengapa, setelah peristiwa itu Sauniére mengundurkan diri sebagai pastur desa. Gereja kemudian mengangkat Pastur Marty sebagai pastur baru di desa tersebut, namun warga desa mengacuhkannya.

Bersama warga desa dan Marie Denarnaud, Sauniére terus hidup dalam kemewahan. Selain Sauniére, Marie Denarnaud sering terlihat mengenakan model pakaian paling anyar dan mahal dari Paris. Sebab itulah Marie juga sering disebut sebagai “La Madonne”. Selama hidupnya, dari tahun 1896 hingga 1917, pastur muda tersebut diketahui telah membelanjakan uangnya tidak kurang dari 23 juta franc. Tiap bulan ia sekurangnya mengeluarkan 160. 000 franc. Sauniére juga memiliki rekening bank di Paris, Perpignan, Toulousse, dan Budapest. Belum cukup dengan itu, pastur ini juga berinvestasi dalam jumlah yang besar di bursa, saham perusahaan, dan sekuritas, suatu tindakan yang tidak lazim dilakukan oleh seorang imam Katolik.

Kematian Yang Aneh

Rabu, 17 Januari 1917, Sauniére yang telah berusia 65 tahun tiba-tiba terserang penyakit yang mirip dengan stroke. Anehnya, lima hari sebelumnya, para jemaat desa mengatakan bahwa Sauniére tampak sangat sehat dan prima untuk lelaki seusianya. Dan yang juga aneh, di tanggal 12 Januari itu, pembantu Sauniére, Marie Denarnaud, diketahui telah memesan sebuah peti mati bagi majikannya. Apakah Marie Denarnaud memiliki insting keenam yang mengatakan bahwa majikannya itu akan segera meninggal dunia? Ataukah Marie terlibat dalam suatu persekongkolan jahat yang entah siapa yang melancarkannya untuk menghabisi Sauniére, disebabkan majikannya itu memegang sebuah rahasia yang membuat Vatikan gentar? Di pihak mana Marie Denarnaud?

Bukan itu saja, tanggal 17 Januari ini sebenarnya juga bukan tanggal yang biasa. Nisan makam Marquise d’Hautpoul de Blanchefort yang dibuat Sauniére ternyata juga bertanggal 17 Januari. Selain itu, hari perayaan pembangunan Gereja Saint Sulpice yang terkait dengan rahasia Da Vinci juga dilakukan tiap tanggal 17 Januari. Ini terlalu naïf jika dianggap hanya suatu kebetulan. Setelah terserang stroke yang misterius, kondisi kesehatan Sauniére turun drastis. Ia terus berbaring dan sekarat. Seorang pastur desa tetangga, Imam dari Espéraza, dipanggil untuk mendengarkan pengakuan terakhirnya dan melaksanakan ritual peminyakan terakhir. Imam itu segera datang. Ia sendirian masuk ke kamar di mana Sauniére terbaring lemah.

Tak lama kemudian, Espéraza tersebut keluar dari kamar. Badannya gemetaran. Mukanya pucat-pasi. Kedua matanya kosong seakan habis melihat hantu. Menurut René Descadeillas, “…sejak hari itu, imam tua tersebut tidak lagi menjadi orang yang sama; ia jelas-jelas telah mengalami suatu kejutan. Dan sampai akhir hayatnya ia tidak pernah terlihat tertawa lagi. ” Imam itu juga menolak memberikan upacara terakhir menurut tradisi Katolik Roma untuk Sauniére. Senin, 22 Januari 1917, Sauniére meninggal dunia. Pendeta kaya raya itu tidak meninggalkan apa-apa selain misteri yang tetap dalam kegelapan. (Rizki Ridyasmara)
Sepeninggal Sauniére, Marie Denarnaud tinggal di vila Bethania hingga akhir Perang Dunia. Marie lalu menjual vila tersebut kepada Monsieur Noel Corbu dan diam-diam menjanjikan akan membuka rahasia besar itu sebelum dirinya meninggal. Rahasia itu, ujar Marie, siapa pun yang memegangnya akan bisa membuatnya kaya-raya dan berkuasa. Pada hari Kamis, 29 Januari 1953, seperti majikannya dulu, tiba-tiba Marie terserang penyakit stroke yang membuatnya tidak bisa bicara dan meninggal, tanpa sempat mewarisi sebuah rahasia yang dipegangnya sampai ke liang lahat.


Banyak kalangan percaya, rahasia yang ikut terkubur bersama jasad Sauniére dan Marie lebih dari sekadar harta karun berupa emas atau pun batu permata. Jika demikian, apakah ini tentang suatu pengetahuan yang selama ini dikubur dalam-dalam? Oleh siapa? Mengapa Vatikan sepertinya sangat takut dan tidak berani terhadap Sauniére?

Richard Andrews dan Paul Schellenberger (The Tomb of God, 1996) berspekulasi bahwa harta karun yang dimaksud sesungguhnya adalah makam Yesus Kristus. Pertanyaan-pertanyaan ini mengemuka dan akhirnya mengerucut menjadi satu dugaan bahwa sesungguhnya rahasia itu memang lebih dari sekadar harta-benda, namun juga meliputi suatu pengetahuan rahasia yang selama ini ditutup rapat oleh Vatikan. Sebab itu, Vatikan terkesan sangat permisif dan segan pada Sauniére. Dan tidak cukup dengan itu, bisa jadi Vatikan malah secara kontinyu mengucurkan uang kepada Sauniére, sekadar sebagai tutup mulut. Dan yang terakhir mungkin saja menghabisinya.

“Kami yakin bahwa ia telah menerima uang dari Johann von Habsburg. Pada saat bersamaan, ‘rahasia’ pendeta itu, apa pun itu, tampak lebih bersifat religius daripada politik, ” demikian The Holy Blood and the Holy Grail. Dugaan Michael Baigent dan kawan-kawan dibenarkan seorang mantan pendeta Gereja Anglikan Inggris. Usai penayangan film “The Lost Treasure of Jerusalem” pada Februari 1972, mantan pendeta itu mengirim surat, “’Harta karun’ itu tidak terkait dengan emas atau batu-batu mulia yang berharga. Sebaliknya, harta tersebut berupa ‘bukti yang tidak dapat dibantah’ bahwa penyaliban adalah peristiwa tipuan dan bahwa Yesus masih hidup hingga akhir tahun 45 Masehi. ”

Keyakinan bahwa Yesus tidak mati di tiang salib sebenarnya juga banyak dianut oleh sekte-sekte kekristenan awal yang lazim disebut sebagai kelompok Unitarian. Mereka ini menganggap Yesus hanyalah utusan Tuhan, bukan Tuhan itu sendiri. Jika Yesus memang tidak mati di tiang salib, mungkinkah Yesus telah diselamatkan oleh Yusuf Arimathea, seorang murid rahasianya yang kaya dan berpengaruh, seperti yang selama ini diyakini sebagian umat Kristen awal seperti Sekte Essenes dan gulungan Nag Hammadi?

Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Yesus tidaklah mati di tiang salib. Yang mati di tiang salib adalah orang yang ditampakkan Allah SWT menyerupai Yesus. Al-Qur’an menginformasikan bahwa Yesus atau Nabi Isa a. S. "diselamatkan" oleh Allah SWT dengan cara diangkat ke jannah. Bagi kelompok-kelompok yang tidak sejalan dengan Vatikan, Yesus diyakini meninggal dunia di dekat Laut Mati yang dipenuhi dengan gua-gua batu, dekat dengan tempat tinggal kelompok Esenes. Maria Magdalena sendiri dipercaya meninggal di Marseilles, Selatan Perancis. Di Aux en Provence yang juga berada di selatan Perancis, di daerah ini dikenal sebagai pusat Magdalenaisme. Di sini pula tradisi lisan Kabbalah dibukukan. Selain Magdalenaisme, di sini juga merupakan pusat pemujaan terhadap Yohanes Pembaptis. Banyak gereja yang didedikasikan kepada Maria Magdalena dan Yohaes Pembaptis yang bertebaran di sini.

Legenda di Languedoc-Rousilon

Daerah Selatan Perancis, yang lazim disebut wilayah Languedoc-Roussillon, para penduduknya memang tidak begitu patuh pada Vatikan. Tiap 22 Juli, mereka menggelar hari pesta Maria Magdalena secara besar-besaran dan meriah. Lynn Picknett dan Olive Prince menyebut wilayah ini sebagai jantung heresy Eropa. Selain pemujaan terhadap Maria Magdalena dan Yohanes Pembaptis, di daerah ini juga terkenal dengan ajaran paganisme dan okultisme dengan segala legenda dan mitosnya. Salah satu kegenda yang masih hidup di masyarakat sekitar adalah tentang legenda “Ratu dari Selatan” (Reine du midi) yang sebenarnya merupakan gelar dari para countess dari Toulouse.

Fakta tunggal inilah yang menyebabkan adanya pemiskinan sistematis atas wilayah selatan Perancis tersebut.

Languedoc adalah "rumah besar" para Templar di Eropa hingga mereka diburu oleh Phillipe le Bel. Lebih dari 30 persen benteng dan markas Templar yang tersebar di Eropa, terletak di sini. Bukan itu saja, di selatan Perancis ini pula, banyak kalangan meyakini, para Templar telah menguburkan dan menyembunyikan harta karunnya yang dibawa lari dari Yerusalem.

Prof. Mariano Bizari daam film dokumenter “The Da Vinci Project: Seeking The Truth” menyatakan bahwa desa ini dengan segala riwayatnya memiliki jejak sejarah yang amat panjang. “Kisah mengenai Rennes-le-Château dimulai pada tahun 1200 SM dengan campur tangan orang Beaker, juga Celts, jadi ini merupakan kisah yang panjang! Di sana terdapat jaringan saluran bawah tanah, juga goa, goa di mana beberapa ritual dilakukan, goa yang membuka jalan ke tempat lain, misalnya tempat yang memungkinkan pelaksanaan upacara tertentu, dan Pendeta Boudet, teman sekaligus penasehat Sauniére, menulis buku berkode untuk mengidentifikasi jalan masuk ke rute-rute ini. ”

“The Da Vinci Project: Seeking the Truth” juga membuat daftar pertanyaan yang mengusik keingintahuan orang tentang pendeta dan desa yang penuh misteri ini: Mengapa Sauniére menulis “ini tempat yang buruk (sebenarnya “Menyeramkan” atau “mengerikan”, pen) di atas pintu masuk gereja itu?

Mengapa Sauniére menghabiskan hari-harinya di Museum Louvre, di depan lukisan Poussin tahun 1640 yang berjudul “Arcadian Sheperds”, yang nampaknya menggambarkan daerah sekeliling Rennes-le-Château dan sebuah nisan bertuliskan “Et In Arcadia Ego”? Mengapa penjaga rumah Sauniére, Marié Denarnaud, selalu mengatakan, “Di sini orang berjalan di atas emas, namun mereka tak mengetahuinya!”

Mengapa kota ini memiliki peraturan khusus yang melarang penggalian tanah, walau hanya untuk menanam bunga? Mengapa mangkuk air suci di gereja Rennes diangkat oleh mahluk bernama “Asmodeus”, yang menurut mitologi Ibrani merupakan penjaga harta karun Salomo? Mengapa gambar mosaik di atas altar menggambarkan Perjamuan Terakhir dengan seorang wanita mengangkat sebuah cawan di kaki Kristus? Apakah ini petunjuk adanya kaitan antara Perjamuan Terakhir dengan Maria Magdalena?

Mengapa patung-patung santo dalam gereja sedemikian diatur sehingga huruf awal nama mereka membentuk kata GRAAL bila dihubungkan membentuk huruf M dari kata Maria Magdalena? Mengapa tempat-tempat salib diletakkan dengan urutan terbalik? Mengapa kaca jendela yang menggambarkan Kristus selalu memiliki bulan di latar belakangnya? Mengapa Sauniére membangun patung Magdalena yang besar dan menurut buku hariannya menyembunyikan sebuah peti di dasarnya?


Profesor Roberto Giacobbo, penulis buku “’Il Segreto Di Leonardo’ juga mengamini kemisteriusan Rennes-le-Château. “Wilayah ini adalah tempat yang aneh—begitu Anda memasuki kota, ada tanda bertuliskan “Dilarang menggali di sini”. Mengapa? Siapa yang meletakkan tanda ini? Rennes-le-Château banyak mengangkat pertanyaan spontan, seperti mengenai sebuah legenda yang terulang…atau mungkin juga tidak. ”

Amat mungkin, karena kemisteriusan desa inilah yang membuat seorang Francois Mitterand, beberapa pekan sebelum terpilih presiden Perancis di tahun 1981, mengunjungi Rennes-le-Château dan berfoto di Menara Magdala dan di samping patung Asmodeus, Raja Iblis Penjaga Harta Karun Sulaiman. Adakah Mitterand yang dikenal sebagai pemerhati okultisme juga merupakan bagian dari kemisteriusan wilayah ini?

Sauniere Tidak Sendiri

Rennes-le-Château dengan Pastur Berenger Sauniére memang menjadi misteri tersendiri. Para peneliti menyatakan bahwa tidaklah mungkin Pastur Sauniére sendirian dalam menjalankan pekerjaannya yang begitu misterius. Apalagi dalam radius tiga mil sekitar Rennes-le-Château terdapat sekurangnya dua daerah dan dua pastur yang juga aneh. Yang pertama, Pastur Antoine Gelis yang menjadi Gembala Sidang di daerah Coustaussa yang terletak persis di bawah Rennes-le-Château. Pastur Gelis tinggal sendirian di sebuah rumah kecil yang berjarak hanya beberapa langkah dari gerejanya. Selain sebagai pastur, Gelis terkenal sebagai lintah darat. Ia dikenal memiliki banyak uang yang sumbernya juga tak jelas dari mana. Kabarnya Gelis juga telah menemukan koin emas dalam jumlah banyak di gerejanya, sama seperti rekannya, Sauniére.

Minggu sore, 31 Oktober 1897, pintu rumah Pastur Gelis diketuk seseorang. Gelis segera membukakan pintu bagi tamu yang tidak dikenalnya ini. Tiba-tiba sang tamu memukulkan sebuah benda keras ke kepala dan tubuh Gelis. Pastur berusia 70 tahun ini jatuh tersungkur bersimbah darah. Sang pembunuh segera pergi. Awalnya polisi menyangka telah terjadi perampokan karena Gelis memang dikenal memiliki banyak uang. Tapi barang-barang milik Gelis tidak ada yang hilang.

Bukan itu saja, di dekat jenazah Gelis yang telentang dengan kedua tangan bersedekap, seolah pembunuhnya ingin menunjukkan sesuatu pola, ditemukan dua kertas rokok dengan tulisan tangan bertuliskan “Viva Angelina!”, yang memiliki arti kejayaan bagi malaikat perempuan atau kejayaan bagi Sang Dewi. Maria Magdalenakah yang dimaksud? Sampai kini polisi tidak berhasil mengungkap siapa pembunuhnya. Banyak penafsiran tentang motif di balik peristiwa pembunuhan terhadap Gelis. Tapi para peneliti meyakini, dibunuhnya Gelis erat kaitannya dengan harta karun yang ada di sekitar daerah itu. Adakah Gelis dianggap terlalu banyak tahu tentang harta karun Rennes-le-Château?

Batu nisannya, yang terletak di pemakaman gereja di Coustassa, diposisikan lain dengan nisan-nisan lainnya. Nisan Pastur Gelis dibuat menghadap ke Rennes-le-Château dan terlihat amat jelas di lereng bukit di seberangnya. Anehnya, batu nisan itu juga memiliki tanda Salib-Mawar (Rose-Croix), terkait Templar.

Yang kedua, Pastur Henri Boudet (1837-1915) yang menjadi gembala sidang di daerah Rennes Le Bains, yang terletak di sisi lain bukit yang juga ditempati Rennes-le-Château. Pastur ini juga tidak kalah misteriusnya. Walau bukan ahli bahasa, tapi Boudet diketahui telah mengarang sebuah buku mengenai bahasa yang salah satu premisnya sungguh aneh yakni bahasa Celtic adalah bahasa asal dari semua bahasa dunia. Buku tersebut ternyata berisi kode-kode tertentu yang setelah Boudet meninggal di makamnya terdapat kaitan erat dengan kode-kode dari bukunya tersebut. Judulnya: Le vraie langue cetique et le cromleck de Rennes-les-Bains (The True Celtic Language and the Cromlech of Rennes-les-Bains).

Pastur Berenger Sauniére, Pastur Antoine Gelis, dan Pastur Henri Boudet, ketiganya memimpin gereja dalam wilayah yang bertetangga, ketiganya menyimpan misteri, dan tentu ketiganya memiliki ikatan khusus atau suatu kerjasama yang tidak diketahui secara jelas apa dan bagaimana bentuknya.

Hanya saja, di belakang hari diketemukan catatan bahwa Pastur Sauniére ternyata pernah dua kali diundang dan menghadiri acara resmi kelompok Freemason yang diadakan di Martinist Lodge di Lyons, Perancis. Sejak zaman Renaissance, kota Lyons juga dikenal sebagai kota yang penuh misteri. Selain itu ada pula catatan pengiriman barang dari Paris berupa sebuah teropong yang berdaya kuat dan kamera kepada Sauniére. Sebuah organisasi atau kelompok di Paris mengirim peralatan penyelidikan kepada Sauniére yang tinggal di desa penuh misteri. Apa yang sesungguhnya yang diselidikinya?

Misteri Harta Karun Templar

Menurut sejarah, setelah kerajaan Barat menyerbu Roma dan kemudian meninggalkan Italia, harta karun dari Yerusalem yang dijarah oleh Titus kemudian dibawa ke Toullose, lalu dibawa lagi ke Carcassonne, setelah itu tidak ada satu pun orang yang pernah mendengar tentang keberadaan harta karun tersebut. Salah satu wilayah di Perancis Selatan yang dekat dengan Rennes-le-Château bernama Opoul Perillos. Wilayah ini memiliki kode pos: 666-00. Triple Six, sebuah angka setan!

Perancis Selatan sampai hari ini masih saja diliputi misteri. Wilayah bekas salah satu markas para Templar tersebut setelah booming novel The Da Vinci Code bukan lagi sebuah wilayah yang sepi, namun selalu dikunjungi turis mancanegara. Walau demikian, hal ini tidak mengurangi kemisteriusannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar