Kini Jepang boleh saja dikenal sebagai salah satu dari negara teraman
dan terdamai di dunia, dengan tingkat kriminalitas yang sangat rendah.
Namun negara Matahari Terbit ini ternyata menyimpan sejarah kelam para
pembunuh berantai yang tak hanya unik, namun juga sangat mengerikan
dalam hal modus operandinya. Tak jarang, sepak terjang mereka bagaikan
sebuah naskah film slasher Hollywood.
Berikut adalah 5 Pembunuh Berantai Paling Sadis di Jepang, seperti dikutip dari paling-unik.com.
1. The Otaku Killer
Otaku di berbagai belahan lain, termasuk Indonesia, mungkin terdengar
seperti istilah yang netral. Otaku berarti penggemar fanatik dari
berbagai produk Jepang, seperti manga, anime, hingga video games. Namun
di negara asalnya sendiri, istilah otaku didefinisikan negatif. Bahkan
para otaku sendiri seringkali didiskriminasikan oleh masyarakat Jepang.
Alasannya, pembunuhan berantai sadis yang dilakukan oleh Tsutomu
Miyazaki atau yang lebih dikenal dengan julukan Otaku Killer.
Tsutomu Miyazaki lahir di Saitama, Tokyo pada 21 Agustus 1962. Ia tak
hanya pembunuh berantai, namun juga kanibal dan penderita nekrofilia.
Miyazaki lahir dengan cacat fisik akibat lahir prematur, yakni telapak
tangan dan jari-jarinya menyatu. Cacat lahiriah inilah yang menyebabkan
ia tumbuh menjadi anak yang pendiam dan pemalu. Kita hanya bisa
membayangkan, perlakukan semacam apa yang diterimanya dari
teman-temannya dengan fisik seperti itu.
Ia mendapat penolakan dari kedua orang tuanya dan kedua saudara
perempuannya. Satu-satunya yang menyayanginya dengan tulus hanyalah sang
kakek. Namun ketika kakeknya meninggal pada 1988, ia menjadi depresi,
bahkan memakan sebagian abu kremasi sang kakek. Pada masa inilah, ia
mulai melakukan pembunuhan berantai.
Korban pertamanya adalah Mari Konno, seorang gadis berusia 4 tahun
yang ia culik tepat sehari setelah ulang tahunnya yang ke-26. Ia
membunuh gadis itu lalu membuang mayatnya, namun dia kembali setelah
mayat gadis itu membusuk untuk mengambil tangan dan kakinya untuk
disimpan sebagai trofi yang kemudian ia simpan di dalam lemari. Korban
kedua adalah Masami Yoshizawa (7 tahun) yang juga ia culik dan ia bunuh
di tempat yang sama ia membunuh Mari.
Ia kemudian menculik Erika Namba (4 tahun) dan membunuhnya. Namun
aksi tersadis ia lakukan pada korban terakhirnya, Ayako Nomoto (5 tahun)
yang tak hanya ia bunuh, namun juga ia mutilasi. Sama seperti korban
pertamanya, Tsutomu juga menyimpan potongan tangannya. Namun tak hanya
itu. Ia juga meminum darah gadis itu serta memakan dagingnya.
Pada Juli 1989, aksi Miyazaki akhirnya usai ketika polisi
menangkapnya atas tuduhan pelecehan seksual pada gadis di bawah umur.
Ketika menyelidiki apartemennya, polisi menemukan bukti atas segala
kejahatannya, juga ribuan materi berupa kaset anime serta manga,
khususnya manga porno atau hentai. Inilah yang menyebabkan media
mengutuknya sebagai Otaku Killer dengan beralasan kebiasaan membaca
mangalah yang membuatnya menjadi pembunuh berantai.
Salah satu ciri khas menakutkan dari pembunuh berantai ini, melalui
pengakuan para keluarga korban, adalah ia seringkali menelepon keluarga
korban. Ketika diangkat, Miyazaki hanya diam tanpa mengatakan sepatah
katapun. Jika tidak diangkat, maka telepon akan terus berbunyi hingga 20
menit tanpa henti.
Selama jalannya pengadilan, Miyazaki terus menyalahkan alter egonya
(ia sepertinya memiliki kepribadian ganda) bernama Rat Man yang
melakukan pembunuhan itu. Ia bahkan menggambar Rat Man dalam bentuk
manga. Ayah Miyazaki menolak untuk membayar pengacara untuk membela
anaknya dan Pada 1997, Miyazaki dijatuhi hukuman mati dan dieksekusi
dengan cara digantung pada 2008.
2. Osaka School Massacre
Mamoru Takuma merupakan pembunuh yang bertanggung jawab atas tragedi
“Osaka School Massacre” yang menewaskan 8 anak dan melukai 15 lainnya.
Ia lahir pada 23 November 1963 di Osaka dan semenjak kecil telah
menunjukkan gejala “Macdonalds Triad”, yakni 3 kebiasaan yang
ditampakkan oleh seseorang yang berpotensi menjadi pembunuh berantai
pada usia kecil. Tiga gejala itu adalah Kekejaman pada binatang,
Kegemaran membakar benda, dan Eneuresis (kebiasaan mengompol di usia di
atas 5 tahun).
Mamoru sejak usia dini sudah menunjukkan perilaku psikopat. Pada usia
12 tahun, ia gemar membunuh kucing dengan membungkusnya dengan koran
lalu membakarnya. Saat SMU, ia menyerang gurunya sendiri dan membuatnya
dikeluarkan dari sekolah. Ia juga berkelahi dengan ayahnya, membuat
ayahnya kemudian mengirimnya ke RSJ. Namun pihak RSJ tak mau menerimanya
dan sang ayah kemudian tak mengakui Mamoru sebagai anaknya.
Ia sempat bekerja di perusahaan taksi bahkan sempat diterima di
Angkatan Udara, namun ia dikeluarkan karena masalah kekerasan dan
pelecehan seksual. Mamoru menikah selama 4 kali dan keluar masuk
penjara. Terakhir, ia bekerja sebagai janitor (tukang bersih) di sebuah
sekolah sebelum akhirnya membuat masalah kembali dengan meracuni 4 guru.
Ia kemudian dimasukkan ke RSJ dengan diagnosis menderita skizofrenia.
Di RSJ ia sempat berusaha untuk bunuh diri, namun gagal. Setelah
sebulan, ia dikeluarkan dengan alasan “mampu mengurus dirinya sendiri”.
Pada 2001, sebulan sebelum ia melancarkan aksinya, ia sempat secara
sukarela mendaftarkan diri ke RSJ untuk mencari bantuan atas depresi
yang ia alami. Namun sehari kemudian ia melarikan diri.
Pada Juni 2001, ia akhirnya lepas kendali dan mengamuk. Dengan
bersenjatakan sebilah pisau, ia menyerang Ikeda Elementary School dan
menusuk mati 8 anak-anak kelas 1 dan 2 SD serta melukai 13 anak lain dan
2 guru. Peristiwa ini dilihat dari jumlah korbannya, merupakan tragedi
terbesar kedua yang pernah menimpa Jepang modern setelah insiden
penyerangan gas sarin oleh Aum Shirikyo.
Uniknya, peristiwa ini mengundang simpati popstar Jepang Utada Hikaru
yang menggubah lagunya “Final Distance” untuk menghormati salah satu
korban yang merupakan fans beratnya. Ketika ditangkap, Mamoru dalam
keadaan sangat bingung. Ia tak menyadari bahwa ia menyerang sekolah dan
terus mengatakan “Aku tidak menyerang sekolah dasar. Aku pergi ke
stasiun kereta dan menusuk 100 orang. Aku tak pernah pergi ke sekolah
dasar.”
Ketika persidangan pun ia sama sekali tak membela diri, bahkan
meminta hakim untuk segera mengeksekusi dirinya dengan mengatakan “Aku
sudah menjadi jijik terhadap semua ini. Aku mencoba membunuh diriku
beberapa kali, namun tidak bisa. Kumohon, hukum mati saja aku.” Walaupun
didiagnosis menderita berbagai kelainan jiwa seperti perilaku
antisosial dan paranoid, ia akhirnya dijatuhi hukuman mati dengan cara
digantung pada 2004.
3. Akihabara Massacre
Tepat 7 tahun setelah tragedi Osaka School Massacre, tragedi serupa
terjadi di pusat perbelanjaan Akihabara, Tokyo yang amat terkenal
sebagai pusat manga dan anime. Lagi lagi, kasus ini dianggap berhubungan
dengan stigma negatif otaku di masyarakat Jepang. Pada Minggu, 8 Juni
2008, Tomohiro Kato mengendarai mobil sewaan dan menabrak 5 pejalan kaki
di pusat perbelanjaan Akihabara, menewaskan 3 di antaranya.
Ia kemudian turun dari mobil dan dengan berbekal sebilah pisau,
menusuk 12 pejalan kaki satu demi satu, menewaskan 4 di antaranya.
Tragedi ini membuat publik Jepang terhenyak. Situasi di kala itu sangat
kacau hingga dibutuhkan 17 ambulans yang berlalu lalang untuk
menyelamatkan para korban.
Tomohiro sendiri lahir pada 28 September 1982 di Aomori, Honshu dan
semula dikenal sebagai siswa berprestasi di SD dan SMP. Namun situasi
berbalik 180 derajat ketika ia masuk Aomori High School yang merupakan
sekolah elite. Di sana ia menjadi rendah diri karena menjadi siswa yang
kurang populer. Prestasinya anjlok drastis menjadi peringkat 300 dari
360 siswa. Akibatnya, ia gagal masuk ke Hokkaido University yang
bergengsi dan akhirnya hanya bekerja di sebuah pabrik.
Menjadi anak seorang top manager di perusahaan perbankan membuat
Tomohiro mendapat tekanan yang luar biasa berat dari orang tuanya untuk
menjadi siswa terbaik. Bahkan orang tuanya pernah menghukumnya dengan
menyuruhnya memakan sisa makanan yang terjatuh di lantai. Tetangganya
juga bersaksi orang tuanya pernah menghukumnya dengan membiarkannya
berdiri di luar rumah di tengah musim dingin yang menggigil. Pada 2006,
ia mencoba bunuh diri dengan menabrakkan mobilnya, namun gagal.
Tiga hari sebelum serangan, ia mengalami perselisihan dengan teman
kerjanya yang ia tuduh menyembunyikan baju kerjanya. Ia pulang cepat
setelah insiden tersebut dan diduga kejadian tersebutlah yang memicu
pembantaian Akihabara. Yang mengkhawatirkan, beberapa saat setelah
peristiwa itu, mulai muncul pembunuhan copycat yang meniru insiden
tersebut.
Pada bulan yang sama, seorang pria mengancam akan mengulang tragedi
itu di Tokyo Disneyland. Tomohiro sendiri kini masih hidup, menunggu
hukuman mati yang telah dijatuhkan padanya. Pada 2014, saudara laki-laki
Tomohiro yang berusia 28 tahun memutuskan bunuh diri karena rasa malu.
Kasus Tomohiro kembali menuai stigma negatif pada para otaku. Diduga
budaya otaku telah menyebabkan anak muda Jepang menjadi berperilaku
negatif dan antisosial.
4. Kobe Child Murders
Pada pagi 27 Mei 1997, potongan kepala Jun Hase, seorang murid di
Tainohata Elementary School ditemukan di gerbang sekolahnya. Kepalanya
dimutilasi dengan gergaji dan di dalam mulutnya disumpalkan sebuah surat
misterius yang ditulis dengan tinta merah. Pembunuhnya, yang mengaku
bernama “Sakakibara” menulis:
“Ini adalah permulaan dari sebuah permainan. Kalian para polisi coba
saja menghentikanku jika kalian bisa. Aku sangat ingin melhat
orang-orang mati, sangat menegangkan bagiku untuk melakukan pembunuhan.
Sebuah pembalasan berdarah setimpal dengan penderitaanku selama
bertahun-tahun.”
Siapa pelakunya? Secara mengejutkan, polisi menangkap seorang anak
berusia 14 tahun (setara dengan siswa kelas 2 SMP) yang tak
dipublikasikan identitasnya dan hanya disebut sebagai “Boy A”. Ia
ternyata juga mengaku telah membunuh seorang gadis berusia 10 tahun
bernama Ayaka Yamashita pada 16 Maret dan menulis dalam buku hariannya,
” Aku mengadakan eksperimen hari ini untuk membuktikan betapa
rapuhnya manusia itu, aku memukulnya dengan palu, ketika gadis itu
menoleh kepadaku. Aku pikir aku memukulnya berkali-kali namun aku
terlalu asyik untuk mengingat berapa kali aku memukulnya”
Kejadian ini sangat mengguncang publik Jepang. Walaupun kejahatan
yang dilakukannya sangat serius, “Boy A” tak dijatuhi hukuman mati
karena masih di bawah umur. Pada Maret 2004, diumumkan bahwa ia yang
saat itu telah berumur 21 tahun, dibebaskan karena telah menjalani
seluruh masa hukumannya. Namun baru tiga bulan setelah pembebasannya,
kasus mengerikan serupa kembali terjadi dan membuat shock masyarakat
Jepang.
5. Tsuyama Massacre
Pernah melihat serial “Harper’s Island” yang menceritakan pembunuh
berantai yang beraksi membantai warga sebuah pulau? Kisah ini ternyata
pernah terjadi di dunia nyata. Kisah hampir serupa terjadi pada 21 Mei
1938 di sebuah desa bernama Kaio, tak jauh dari kota Tsuyama di wilayah
Okayama, Jepang.
Pada malam itu, seorang pria berumur 21 tahun bernama Mutsuo Toi
memadamkan listrik di desanya dan di tengah kegelapan, ia membantai 30
penduduk desa secara satu-persatu menggunakan berbagai senjata, mulai
dengan senapan, kapak, hingga pedang samurai. Salah satu yang ia habisi
adalah neneknya sendiri. Ia membunuh hampir separuh dari penduduk desa
tersebut dan akhirnya memutuskan untuk bunuh diri dengan menembak
dirinya sendiri menjelang fajar.
Sumber : Terselubung