Entah mengapa Shibuya selalu menjadi tempat nongkrong favorit saya setiap kali mampir ke Tokyo. Daerah perbelanjaan yang terletak di sebelah barat Tokyo ini selalu terlihat sibuk, terutama jika dilihat dari pejalan kaki yang lalu-lalang.
Kesibukan itu justru membuat perasaan nyaman sekaligus semangat seperti sedang merasakan detak jantung sebuah kota.
Saat larut malam dan suhu semakin dingin, menikmati waktu sendirian di pojok Starbucks yang berada di gedung Qfront adalah sebuah relaksasi tersendiri. Gedung QFront ini tutup sampai jam 2 pagi, sedangkan Starbucks tutup sampai jam 4 pagi. Jadi, puas deh kalau cuma ingin leyeh-leyeh, sambil merasakan sedikit gaya bergaul anak muda Tokyo.
Keramaian di depan gedung QFront yang memikat wisatawan. Foto: Syanne Susita
Sambil ditemani cafe latte, saya menikmati pemandangan lalu-lalang para pejalan kaki melintas penyeberangan Shibuya yang terkenal paling ramai itu. Seru sekali melihat orang berjalan dari lima arah jalan seperti menuju satu titik di tengah, tetapi tidak ada yang bertabrakan. Dan begitu lampu berganti warna, serentak pejalan kaki “menghilang”.
Jika sedang hujan, kerumunan payung berwarna-warni menjadi satu pemandangan lebih menarik lagi. Foto: Syanne Susita
Shibuya memang dikenal daerah trendi di kalangan muda Tokyo. Barang yang dijual di daerah ini pun kebanyakan untuk konsumsi anak muda seperti peralatan elektronik, CD dan DVD. Model baju dan desain aksesoris yang dijual di toko ataupun mal di situ pun menunjukan selera untuk anak muda.
Harganya cukup terjangkau untuk model baju yang cukup unik dan tidak mungkin dijual di Indonesia. Tempat yang wajib dimasuki adalah Shibuya 109 (Shibuya ichi maru kyu). Di gedung sepuluh lantai terdapat ratusan butik kecil.
Temukan berbagai butik dengan fashion menarik di dalam Shibuya 109. Foto: Syanne Susita
Walau sempat berbelanja beberapa baju di situ, bagi saya, Shibuya adalah surga untuk berburu koleksi langka CD dan DVD. Di gedung QFront, terdapat Tatsutaya Records yang terdiri dari enam lantai. Di bagian basement, dijual pula CD, DVD, komik/manga, sampai VHS dan piringan hitam bekas dalam kondisi yang masih bagus. Saat membeli, kita diberi garansi tiga hari jika barang bekas itu rusak.
Dari toko musik ini juga, mata saya seperti terbuka mengapa penjualan fisik produk-produk hiburan di Jepang bisa terus hidup. Di lantai atas ada yang khusus untuk penyewaan semua produk yang dijual, termasuk koleksi terbaru mereka. Begitu juga di toko rekaman lainnya seperti Tower Records, Disk Union, RECOfan dan Apple Store yang letaknya berdekatan satu sama lain.
Bahkan, beberapa toko terakhir menyediakan juga meja dan booth untuk penjualan musik online. Dengan berbagai pilihan untuk mengkoleksi musik yang begitu mudah di lokasi strategis pula, wajar jika bisnis musik di Jepang menjadi salah satu “raja” di dunia.
Daerah yang juga wajib dijelajahi saat mampir di Shibuya adalah Center-gai. Gang kecil ini tidaklah terlalu panjang, hanya sekitar 36 meter tetapi di sepanjang jalan inilah berjejeran restoran, toko ramen, bar, butik, arkade permainan dan berbagai macam toko. Jalan ini merupakan daerah tersibuk di Shibuya.
Center-gai, gang yang juga menarik wisatawan untuk berbelanja makanan dan variasi toko lainnya. Foto: Syanne Susita
Di kebanyakan toko ramen, biasanya tidak ada pelayan dan menu. Yang ada hanya mesin dengan banyak tombol yang dipajang di depan toko. Saya terus terang sempet keder melihat ini. Ternyata, setelah memperhatikan agak lama mesin tersebut. Saya pun baru mengerti. Mesin ini melakukan multi-tasking.
Membeli makanan dengan cara unik dari mesin ini. Foto: Syanne Susita
Pertama, sebagai menu makanan. Sebelum masuk ke dalam tempat makan, kita memesan dan membayar lewat mesin ini. Tekan tombol jenis makan yang ingin kita makan, masukkan uang sejumlah harga makanan yang dipesan. Jika ada kembalian, maka di bagian bawah mesin ada lobang khusus tempat uang kembalian keluar dari situ. Di bawah tombol makanan yang kita pesan pun otomatis akan keluar tiket. Prinsipnya seperti membeli tiket kereta bawah tanah.
Setelah masuk ke dalam, kita tinggal menyodorkan tiket makanan yang kita inginkan. Saking efisiennya, minuman pun diambil sendiri di meja yang disediakan. Seperti layaknya restoran cepat saji di luar negeri, meja makannya jarang menyediakan bangku. Jadi, menyantap ramen sambil berdiri. Saat restoran penuh, saya pun kadang seperti di dalam kendaraan umum karena harus bergeser agar menyelipkan satu tamu lagi.
Dalam memilih menu yang biasanya ditulis dengan huruf kanji, sehingga harus cermat. Jangan sampai salah memilih. Memang terkadang ada gambar ramen di atas tombol harga sebagai ilustrasi, tetapi perhatikan juga ukuran. Jangan sampai menekan tombol ukuran besar. Nanti kebingungan sendiri bagaimana menghabiskannya.
Juga jangan terpancing dengan poster promo di depan jika sedang berpergian sendirian karena biasanya paket hemat yang dipromosikan dan itu biasanya dua porsi makanan.
Daya tarik utama Shibuya lainnya adalah — ini mungkin yang paling terkenal karena sampai dibuat film — patung Hachiko. Patung ini merupakan patung penghormatan kepada seekor anjing yang setia menunggu kepulangan tuannya di depan stasiun, walau tuannya telah meninggal.
Patung Hachiko yang "menunggu" tuannya. Foto: Syanne Susita
Dekat patung terpahat juga sekitar 20 anjing sejenis Hachiko di dinding salah satu stasiun sepanjang lima belas meter. Di sekitar patung ini, biasanya dijadikan tempat pertemuan. Jika malam tiba, daerah ini juga semakin ramai karena banyak musisi jalanan yang ngamen di sini.
Terdapat pula Hachiko versi pahatan di sepanjang tembok ini. Foto: Syanne Susita
Simak pula aksi pengamen jalanan di daerah tersebut. Foto: Syanne Susita
Kalau kantong lagi tipis, ketimbang nongkrong di Starbucks, lebih baik ke sini. Toh, suasanannya jelas lebih hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar